• Pengantar
Secara umum, studi ini terletak dalam gagasan mengenai ‘studi inovasi’ dan ‘teknologi dan perubahan sosial’. Secara khusus, studi ini mempelajari bagaimana kelompok/organisasi masyarakat sipil (selanjutnya demi hemat kata, disingkat CSO, civil society organisation) menggunakan teknologi informasi, khususnya yang termediasi oleh komputer dan melalui internet (internet-based CMC), untuk mencapai misi dan tujuannya melakukan perubahan sosial.
Mengapa CSO? CSO seringkali dicampuradukkan dengan NGO atau Ornop, yaitu subset yang paling nampak dari CSO. Namun demikian secara konseptual CSO lebih luas dari Ornop karena ia juga mencakup kelompok-kelompok komunitas, lembaga penelitian atau think-tank, media dan serikat buruh serta petani (Ibrahim, et al., 2003). Mengapa teknologi komunikasi via Internet? Sejak muncul dan berkembangnya internet, berbagai transformasi ekonomi, sosial dan budaya terjadi melalui mediasi teknologi ini. Komunikasi termediasikan internet telah memungkinkan terjadinya perubahan dan pengaruh terhadap identitas, relasi dan komunitas (Thurlow, et al., 2004). Mengapa Indonesia? Tak hanya karena Indonesia mengalami perubahan sosial yang luarbiasa yaitu transisi menuju demokrasi (Bird, 1999), namun terutama karena transformasi semacam itu tak mungkin terjadi jika tidak ada keterlibatan yang kuat dari berbagai CSO di Indonesia (Uhlin, 2000).
Kini, dalam tahap lanjut proses transisi demokrasi tersebut, keterlibatan dan pengaruh CSO dalam penentuan kebijakan dan pengambilan keputusan publik makin hari makin meningkat. Demikian juga seiring waktu, perkembangan teknologi komunikasi melalui internet dan pemanfaatannya juga makin pesat dan meluas dan infrastrukturnya makin luas tersedia. Maka, sementara di satu sisi keduanya dipandang sebagai salah satu faktor penggerak perubahan sosial, di sisi lain, studi selama ini menunjukkan bahwa teknologi informasi belum dimanfaatkan secara maksimal untuk mendukung kerja-kerja CSO di berbagai konteks, termasuk di Indonesia.
• Gagasan pokok
Lebih dari dua dasawarsa yang lalu, Benjamin Barber dalam bukunya “Strong Democracy” (1984) sudah melihat kemungkinan digunakannya teknologi informasi dan komunikasi untuk menggerakkan ‘informasi warga’ dan partisipasi politik. Namun, empat belas tahun kemudian, dia memperingatkan adanya kerusakan yang makin meluas dari kualitas pengambilan keputusan secara demokratik yang terjadi dalam biasnya ruang media yang baru ini.
Teknologi komunikasi memang bisa menjadi platform yang memadai untuk menstimulasi partisipasi dan melahirkan berbagai peluang untuk meluaskan ruang pengambilan keputusan yang bisa menembus tertutupnya pintu institusi-institusi politik. Tetapi di sisi lain, teknologi apapun, termasuk dan khususnya internet, juga dibentuk dari pengguna dan penggunaanya (Sey and Castells, 2004: 363). Karena itu, mereka menekankan bahwa, “… pengaruh internet yang sesungguhnya terhadap politik dan kualitas demokrasi harus ditetapkan dan ditemukan dari pengamatan, bukan dinyatakan sebagai keniscayaan.” (ibid.:364, penekanan penulis).
Tujuan utama dari studi ini bukanlah untuk mempertahankan gagasan atau abstraksi mengenai hubungan antara teknologi dan transformasi sosial. Melainkan, untuk mencoba memahaminya melalui sekumpulan contoh –beberapa positif dan beberapa negatif—keadaan dan prasyarat di mana, dan bagaimana caranya, potensi hubungan ini terwujud.
•Pertanyaan pokok
Pertanyaan pokok yang diajukan dalam studi ini adalah:
•Apa yang seharusnya dikerjakan oleh CSO di Indonesia ini setelah mempunyai akses relatif lebih mudah terhadap teknologi komunikasi melalui internet?
•Bagaimana berbagai CSO ini menggunakan teknologi tersebut secara strategis?
•Apa peluang dan tantangan dalam penggunaan semacam ini?
Tiga pertanyaan pokok ini diturunkan ke dalam beberapa pertanyaan operasional yang digunakan sebagai dasar untuk menyiapkan instrumen penelitian ini:
1.Seperti apakah hakikat (nature) dari CSO di Indonesia saat ini? Bagaimana CSO di Indonesia terlibat di dalam ‘masyarakat informasi’?
2.Teknologi komunikasi apa yang digunakan oleh CSO di Indonesia dan bagaimana mereka menggunakannya untuk meningkatkan kinerja organisasi baik secara internal (kebutuhan manajerial) dan eksternal (fokus, isyu, jaringan, dll.)? Faktor apa saja yang mempengaruhi penggunaan teknologi tersebut bagi CSO dan bagaimana faktor-faktor tersebut mempengaruhinya?
3.Seperti apa teknologi komunikasi digunakan secara ‘cerdik, strategis dan politis’? Bagaimana caranya? Mengapa? Adakah strategi untuk pemanfaatan tersebut?
4.Dalam area apa saja teknologi komunikasi digunakan secara strategis? Seperti apa penggunaan strategis itu di masa depan?
• Metodologi
Metodologi utama yang digunakan adalah triangulasi, yaitu gabungan antara pendekatan kuantitatif dan kualitatif untuk memperkaya pemaknaan dan mendapatkan nuansa yang sulit diperoleh dengan hanya menggunakan salah satu di antaranya.
Secara umum, beberapa hal di bawah mungkin perlu dicatat:
•Survey ditargetkan pada responden secara terarah (purposively), bukan acak, dengan menggunakan direktori CSO yang tersedia secara publik.
•Pemilihan CSO dalam wawancara mendalam juga dilakukan secara terarah (purposive) menurut taksonomi (developmentalis vs. advokasi) dan tipe organisasinya (organisasi terpusat vs. jaringan).
•Dalam beberapa hal, ‘snow-ball sampling’ diterapkan, yaitu dengan menindaklanjuti CSO yang dirujuk oleh narasumber.
•Untuk pengalaman/kasus yang ‘menarik’, studi kasus akan dilakukan sebagai tindak lanjut untuk memberikan ‘kisah/cerita’ sebagai ilustrasi melalui observasi dan wawancara mendalam (yang lebih memungkinkan dibandingkan dengan studi etnografi).
•Titik (‘node’) dalam pemetaan jaringan didapatkan dari hasil survey (bukan dari direktori) untuk memastikan adanya relasi (‘edge’)
•Sebagian (besar) peserta lokakarya dan kelompok diskusi terarah adalah responden dalam survey dan informan dalam wawancara. Cara ini dipilih untuk mendapatkan pandangan, posisi, kesepakatan dan refleksi kolektif sebagai kelompok.
Studi ini didesain seperti ini karena dua alasan utama yang mendasar secara ontologis dan pragmatis. Secara ontologis, CSO belumlah secara konseptual terdefinisi dengan baik. Para akademisi masih meraba-raba hakikat ‘sektor ketiga’ ini seperti diindikasikan dalam handbook kanonikal Global Civil Society dan beragam gagasan lainnya (Anheier, 2003, Anheier, et al., 2005, Glasius, et al., 2002, Wainwright, 2005). Secara pragmatis, idealnya sampel ditentukan secara acak, namun hal ini tidak dimungkinkan karena tiadanya sensus CSO di Indonesia (bahkan di negara lain (Anheier, et al., 2005)). Karena itu, sulit mengukur ‘representativeness’, ‘reliability’ atau ‘power’.
Dari beberapa pengalaman skolar lain sebelumnya, studi mengenai CSO bisa (dan biasanya) dilakukan dengan cara:
•studi kasus berdasarkan wawancara (mis. Hadiwinata, 2003)
•studi etnografi (mis. Warren, 2005)
•observasi partisipatoris dalam sebuah event besar (mis. Anheier and Katz, 2005)
•studi kasus dan observasi (mis. Anheier, et al., 2005, Glasius, et al., 2002)
Namun demikian, dalam penelitian ini pilihan salah satu cara di atas tidak mencukupi dan karenanya dibutuhkan kombinasi. Temuan sementara: Sekilas pengumpulan data. Melalui survey yang diikuti 268 organisasi dari 29 propinsi (s.d. 15 Januari 2006) dan wawancara dengan sekitar 35 informan, berhasil dikumpulkan data mengenai profil CSO, profil penggunaan teknologi informasi, peta area/bidang dimana teknologi komunikasi digunakan secara strategis serta profil keyakinan di masa depan akan penggunaan teknologi komunikasi ini bagi perubahan sosial. Selain itu, juga dilakukan pemetaan jaringan kerja CSO di Indonesia dengan mitra nasional dan mitra internasionalnya.
Profil responden. Responden adalah CSO yang berorientasi advokasi, developmentalis atau gabungan keduanya dan secara organisasi bersifat terpusat atau merupakan jaringan. Komposisi antara CSO yang mengambil orientasi sebagai think-tank seimbang dengan mereka yang melakukan pengorganisasian. Kebanyakan terdaftar secara resmi dan tidak mempunyai afiliasi agama tertentu.
Isu dan bidang garap yang diambil beragam dan merata, meliputi pemberdayaan masyarakat sipil, pendidikan, demokratisasi, hak asasi manusia, kesetaraan jender dan hak-hak perempuan, pembangunan, pengentasan kemiskinan, perdamaian dan keadilan, hak-hak ekosob, tata pemerintahan yang baik, isu-isu pedesaan, anak-anak, resolusi konflik, globalisasi, petani dan nelayan, perkotaan, buruh dan serikat pekerja, serta kelompok adat. Sebagian kecil bekerja di isu pluralisme dan keragaman, penyandang cacat dan pekerja profesional. Dalam hal aktivitas utama, CSO di Indonesia tidak begitu berbeda satu sama lain. Sebagian besar melakukan pelatihan, sebagian lainnya penelitian termasuk konsultansi dan pengembangan kapasitas, publikasi termasuk diseminasi, advokasi korban dan mobilisasi. Hanya sebagian kecil melakukan lobby.
Sebagian besar CSO responden berdiri antara 5-10 tahun yang lalu (37%) dan sebagian lainnya lebih dari 10 tahun yang lalu (34.35%). Hanya sebagian kecil dari CSO responden berusia kurang dari 5 tahun (27%). Mereka sebagian besar mempunyai staf full-time kurang dari 10 orang (65%) dan hanya sedikit yang mempekerjakan lebih dari 25 staf purna waktu (11.01%). Pola yang mirip juga ditemui dalam jumlah staff part-time yang bekerja di CSO tersebut. Sekitar separuh dari CSO responden ini mengelola dana di bawah Rp 500 juta rupiah per tahun, sementara sepertiga dari CSO responden mengelola antara Rp 500 juta – Rp 2 milyar rupiah per tahun. Perlu dicatat bahwa sekitar seperlima responden menolak untuk memberikan informasi ini. Dana ini sebagian berasal dari donor internasional, sebagian dari pembiayaan sendiri dan sebagian dari aktivitas yang menghasilkan dana. Hanya sebagian kecil yang mendapatkan dananya sepenuhnya dari pemerintah atau sepenuhnya donor atau sepenuhnya pembiayaan sendiri.
Profil penggunaan teknologi komunikasi. Hampir semua (94.69%) CSO responden menggunakan komputer sejak berdirinya dan sebagian besar dari mereka (83.18%) menggunakan internet relatif sejak teknologi ini diperkenalkan. Sebagai prosentase dari dana yang dikelola per tahunnya, kebanyakan CSO (70.71%) membelanjakan kurang dari 25%. Sebagian lain (25.76%) membelanjakan 25%-250% dari dana yang dikelola untuk teknologi komunikasi. Secara nominal, sebagian besar CSO (79.58%) membelanjakan Rp 50 juta atau kurang dan sebagian lain (13.61%) membelanjakan antara Rp 50 – 100 juta per tahun untuk teknologi komunikasi.
Apa alasan internal menggunakan teknologi komunikasi? Lima alasan internal utama adalah intensitas informasi, alasan manajerial, peningkatan kapasitas dan keperluan identitas. Alasan lainnya adalah finansial, teknologis, bottom-up, dan top-down. Sedangkan alasan eksternalnya terutama karena meningkatnya intensitas kerjasama, perspektif, jaringan, isu dan bidang garap serta intermediasi. Alasan eksternal lainnya adalah alasan pemberdayaan, alasan lingkungan, meningkatnya intensitas pengaruh, alasan sosial, budaya, kekuasaan dan intensitas kompetisi.
Pengaruh teknologi komunikasi. Mayoritas CSO responden mengalami bahwa teknologi komunikasi telah memfasilitasi kinerja internal manajemen mereka secara sangat signifikan (46.98%) dan signifikan (40%). Demikian juga dengan ekspansi jaringan, dimana karena pengaruh penggunaan teknologi komunikasi, jaringan CSO responden berkembang pesat (67.42%) atau setidaknya sedikit berkembang (21.27%). Hanya sebagian kecil (11.31%) melihat pengaruh ini netral. Penggunaan teknologi komunikasi juga mempengaruhi tujuan dan aktivitas organisasi: tujuan dan aktivitas organisasi menjadi terfokus (44.04%) atau jauh lebih terfokus (32.57%) setelah digunakannya teknologi komunikasi. Dalam hal wawasan/perspektif, teknologi informasi membantu CSO untuk meluaskan perspektif hingga ke tinggkat global (64.15%), setidaknya sampai di tingkat nasional (18.4%), setidaknya sampai tingkat regional (8.49%) dan setidaknya lebih dari tinggkat lokal (5.19%). Sebagian kecil (3.77%) melihat penggunaan teknologi komunikasi ini tidak mempengaruhi perspektif/wawasan mereka. Kebanyakan CSO responden mengalami bahwa penggunaan teknologi informasi telah memberi manfaat secara signifikan untuk mencapai misi dan tujuan organisasi secara sangat positif (47.95%) atau secara positif (44.75%).
Pilihan teknologi komunikasi. Email, mailing list dan WWW menjadi subset teknologi komunikasi yang paling banyak digunakan selain file transfer. Fitur lain dari teknologi komunikasi seperti online chat, online forum, VoIP, weblog, video/audio streaming relatif lebih sedikit dimanfaatkan. Hal yang sama berlaku untuk fitur teknologi yang disediakan: email, mailing list dan WWW. Selain itu: link dengan organisasi lain dan publikasi online. Fitur lain praktis hanya sedikit disediakan oleh CSO: newsgroup, online forum, perpustakaan online, weblog dan streaming. Hal ini mungkin dipengaruhi oleh akses terhadap interent. Sebagian besar (48.2%) CSO menggunakan koneksi dial-up dan hanya sebagian kecil (19.37%) menikmati koneksi pitalebar (broadband). Lainnya mengakses internet melalui warnet atau menumpang di organisasi lain. Namun demikian dalam hal partisipasi, kebanyakan CSO (49.51%) melihat diri mereka seimbang dalam mengankses dan memberikan informasi melalui teknologi komunikasi. Dalam jumlah signifikan (37.87%) CSO lebih banyak atau jauh lebih banyak mengakses informasi dan hanya sedikit (16.62%) yang lebih banyak atau jauh lebih banyak memberikan informasi.
Dalam mengevaluasi penggunaan teknologi komunikasi mereka, CSO responden mendapati bahwa teknologi komunikasi digunakan dalam sejumlah aspek penting (41.23%) atau di hampir semua aspek (27.49%) dalam aktivitas mereka. Sekitar seperempat dari responden menggunakannya hanya di beberapa aspek dalam aktivitas mereka. Sebagian besar CSO (35.27%) tidak bisa atau tidak tahu membandingkan penggunaan teknologi komunikasi di organisasi mereka dengan organisasi lain dalam jaringan mereka. Sebagian kecil (9.10%) yakin dirinya berada dalam lima persen teratas dan sebagian lain yakin berada dalam kelompok seperlima teratas (19.32%) atau setengah teratas (16.43%). Sejumlah CSO merasa penggunaan teknologi komunikasi mereka ada di bawah setengah terbawah (7.73%) atau bahkan ada di sepersepuluh paling bawah (12.08%). Namun demikian, sebagai proses belajar, sebagian besar CSO (51.96%) melihat bahwa kebanyakan staff mereka dan sejumlah lain (28.43%) melihat sejumlah staff mereka ingin meningkatkan ketrampilan teknologi komunikasi mereka. Sejumlah kecil (17.65%) CSO melihat hanya beberapa staff yang ingin meningkatkan ketrampilan tersebut. Dari segi manfaat bagi kelompok dampingan, CSO melihat bahwa penggunaan teknologi komunikasi membantu kelompok dampingan mereka untuk mendapatkan wawasan lebih luas, meningkatkan pengetahuan dan pemahaman terhadap isu tertentu dan membantu mereka mengorganisir dirinya sendiri. Sebagian kecil mengalami kelompok dampingannya mendapatkan manfaat berupa akses langsung terhadap penggunaan perangkat lunak, aplikasi, internet, dll. dan juga perangkat keras. Bidang-bidang strategis dimana teknologi komunikasi bisa digunakan oleh CSO adalah kerja sama dan berkolaborasi, penyampaian gagasan secara lebih efektif ke organisasi lain dan kepada publik, dan untuk membangun jaringan serta melakukan kampanye.
Sebagai pengguna, CSO responden juga melakukan modifikasi/penyesuaian teknologi komunikasi dengan kebutuhan mereka, terutama dalam membangun jaringan dengan organisasi lain, kerjasama dengan organisasi lain, publikasi/komunikasi gagasan kepada publik, manajemen internal organisasi, fundraising dan kampanye. Sebagian kecil melakukan modifikasi untuk keperluan keuangan/akuntansi. Penyesuaian itu dilakukan sebagian besar dengan cara membeli sistem/aplikasi komersial dan sebagian lagi dengan menyalin/meng-copy sistem/aplikasi dari organisasi lain. Hanya seperlima dari CSO responden yang mengembangkan sistem/aplikasi sendiri. Alasan penyesuaian ini dilakukan sebagian besar adalah untuk memperluas jaringan/hubungan dengan organisasi lain, meningkatkan kinerja manajemen organisasi yang lebih baik, untuk memperluas perspektif/wawasan terhadap isu dan bidang garap.
Sedangkan hal negatif yang diakibatkan dari penggunaan teknologi komunikasi sebagian besar berupa gangguan (virus, SPAM) selain hal-hal seperti pengeluaran organisasi justru meningkat, pemborosan pulsa/biaya komunikasi, kerepotan mengurusi jaringan dan fokus kerja staf yang berkurang. Sebagian kecil melihat implikasi negatif biasnya isu dan bidang garap.
Secara keseluruhan, dalam melihat prospek masa depan, mayoritas CSO memproyeksikan akan membelanjakan lebih banyak dana (dari saat ini) untuk penggunaan teknologi komunikasi dengan kemungkinan yang cukup besar (45.27%) atau sangat besar (19.9%). Sebagian besar CSO yakin (49.02%) atau sangat yakin (41.67%) akan terjadinya peningkatan kinerja manajemen; mereka yakin (52.48%) atau sangat yakin (42.57%) bahwa jaringan organisasi akan meluas; mereka punya keyakinan yang sama (60.2% dan 29.95%) bahwa pencapaian misi dan tujuan organisasi akan menjadi lebih baik dan karenanya memupuk keyakinan yang serupa (58.79% dan 29.15%) bahwa dengan demikian akan membantu mendorong terjadinya transformasi sosial yang dicita-citakan organisasi dalam 5-10 tahun ke depan dengan tingkat penggunaan dan kemajuan teknologi komunikasi saat ini.
Hasil wawancara dan pemetaan jaringan diintegrasikan dalam pemaknaan di bawah ini.
• Pemaknaan sementara
Dari data yang dikumpulkan melalui survey dan wawancara, serta melalui peta jaringan, studi ini mencoba memberikan catatan atas pemaknaan terhadap data tersebut sebagai titik pijak refleksi kolektif. Pertama, batas yang kabur antara developmentalis dan advokasi
Studi ini menemukan ada indikasi batas yang makin kabur dalam klasifikasi CSO di Indonesia, yaitu antara mereka yang berorientasi advokasi dan mereka yang berorientasi developmentalis. Makin banyak kelompok developmentalis yang melakukan kerja-kerja advokasi dan sebaliknya. Maka, sementara di satu sisi pemilahan ini berguna setidaknya di level analitis, dalam level praktis nampaknya perlu cara yang baru agar pergeseran ini bisa direkam dan dimaknai. Pertanyaan yang mungkin berguna sebagai refleksi:
Mengapa batas ini menjadi kabur? Apa maknanya bagi gerakan sosial di Indonesia? Hal-hal apa yang terkait dengan kaburnya batas ini: ekonomi, sosial, politik? Apakah kaburnya batas ini juga dipengaruhi oleh penggunaan teknologi komunikasi dengan internet –karena perspektif meluas, karena kolaborasi menjadi lebih mungkin, karena gagasan-gagasan global makin dipahami, dll.? Faktor lain apa yang mungkin berpengaruh? Tarikan antara “employment” dan “commitment”?
Kedua, kelompok masyarakat sipil menjadi makin global dan kosmopolit
Temuan sementara ini mengindikasikan berbagai CSO di Indonesia nampaknya makin akrab dengan ide-ide kosmopolitan dan terlibat dalam berbagai isu-isu global, baik dalam tingkat gagasan maupun aktivitas. Makin mudahnya membangun jaringan dan kolaborasi kelompok masyarakat sipil antar negara juga mempermudah terciptanya kepedulian dan keprihatinan bersama. Beberapa pertanyaan mengemuka seputar persoalan identitas CSO: seperti apakah wajah CSO di Indonesia saat ini? Apa yang sungguh membedakan CSO dari aparatus negara dan aparatus bisnis? Pertanyaan yang mungkin berguna sebagai refleksi:
Faktor apa yang mempengaruhi hal ini secara internal (misal. informasi yang makin tersedia luas, dll.)? Faktor eksternal apa yang mempengaruhi (misal. jaringan dengan donor, partner internasional, dll)? Apakah ada faktor lain yang mempengaruhi?
Ketiga, inovasi dalam gerakan sosial – penggunaan teknologi komunikasi yang sederhana namunstrategis
Hampir seluruh CSO yang menjadi responden (97.83%) kini mampu mengakses internet dengan berbagai cara. Mereka juga menyadari pentingnya pengaruh teknologi ini bagi kinerja organisasi. Walau keterbatasan infrastruktur menjadi kendala utama, berbagai CSO di Indonesia mampu memanfaatkan teknologi komunikasi melalui internet ini secara efektif meski terbatas pada jenis-jenis layanan dasar. Studi ini menemukan bahwa e-mail, mailing list dan WWW bisa menjadi alat ampuh untuk mendorong kinerja organisasi/kelompok dan jaringan. Selain itu, sebagai ‘partisipan’ dalam masyarakat informasi, walau terbatas secara infrastruktur, CSO di Indonesia adalah pengguna aktif – mereka tidak hanya mengakses informasi, namun aktif memberikan informasi bagi pihak lain.
Akibatnya, berbagai CSO di Indonesia mampu menggunakan teknologi komunikasi via internet ini untuk bekerja sama dan berkolaborasi, menyampaikan gagasan lebih efektif ke organisasi lain dan kepada publik, membangun jaringan lebih kuat, melakukan kampanye – yang semuanya ini dipandang sebagai penggunaan teknologi yang sederhana, namun strategis bagi perubahan sosial. Beberapa studi kasus yang menarik mencontohkan bagaimana kerja bersama bisa digalang secara efektif melalui komunikasi email yang aktif dalam mailing list yang akhirnya bisa menghasilkan stratagi bersama untuk mendesakkan perubahan pada pengambil keputusan publik (pemerintah), misalnya di bidang pertanian organik, kebebasan informasi, buruh migran, dlsb. Pertanyaan yang mungkin berguna sebagai refleksi:
Bagaimana penggunaan komunikasi internet di berbagai area strategis ini dimulai? Adakah hal yang baru di sana yang dulunya (sebelum menggunakan komunikasi internet) tidak ada? Apa sumber inspirasinya? Apa kesulitannya? Adakah stratifikasi dalam penggunaan teknologi komunikasi oleh CSO sebagai bagian dari masyarakat informasi?
Keempat, dinamika jaringan – antara persepsi, klaim dan temuan lapangan
Temuan sementara menegaskan bahwa penggunaan teknologi komunikasi mempunyai hubungan erat dengan berkembangnya jaringan CSO, baik jaringan antar CSO di Indonesia, maupun dengan mitra-mitra jaringan/organisasi/ lembaga-lembaga internasional (CSO global).
Dalam berjejaring dengan mitra nasional dan global, nampak jelas bagamana jaringan antar CSO di Indonesia tumbuh dengan pesat dalam empat periode politik di bawah ini.
Sekilas nampaknya yang terlihat adalah tumbuh-berkembangnya jaringan CSO di Indonesia dengan subur, baik di tingkat nasional maupun inernasional. Namun studi ini mendindikasikan bahwa pertumbuhan ini punya makna berbeda, khususnya dalam jaringan internasional dan pemahaman akan peran CSO global dalam transisi demokrasi. Temuan studi ini memberi makna lain secara empirik –setidaknya dalam cakupan jaringan responden—terhadap klaim atau pemahaman yang berkembang secara umum selama ini tentang keterlibatan CSO global dalam transisi demokrasi, yakni bahwa mereka mengambil peran sentral dan penting dalam setiap fasenya.
Secara jelas temuan ini memang menunjukkan adanya peran CSO global, namun peran itu berbeda secara signifikan dari waktu-ke-waktu dalam periode transisi tersebut. Jelasnya, peran CSO global lebih ‘kurang signifikan’ dalam periode dimana rejim otoritarian masih berkuasa (pra-1995) dan dalam periode kaotik dimana perlawanan dibangun dan diwujudkan di lapangan secara intensif dan bahkan berdarah-darah dan tinggi risiko politiknya (1995-1998). Peran itu menjadi ‘lebih signifikan’ ketika rejim otoritarian sudah tidak berkuasa lagi atau dalam periode yang walaupun kaotik dan euforik namun tidak berdarah-darah dan berisiko secara politik (setelah 1998). Tentu klaim ini masih amat dini dan perlu mendapatkan pemaknaan lebih dalam melalui diskusi dalam lokakarya ini. Pertanyaan yang mungkin berguna sebagai refleksi: Faktor apa yang menyebabkan jaringan-jaringan itu berkembang? Apa saja hal yang menentukan satu CSO untuk berjaringan atau untuk tidak berjaringan dengan CSO lain: dengan CSO lain di Indonesia, dengan donor, dengan global CSO? Bagaimana jaringan ini terbentuk? Apa peran jaringan ini (baik nasional maupun global) dalam perubahan sosial? Apa implikasi jaringan ini?
• Penutup
Studi ini telah mencoba mengumpulkan data empirik dan mengidentifikasi sejauh mana CSO di Indonesia telah menggunakan teknologi informasi. Selain itu, studi ini juga menggali bidang-bidang apa saja, saat ini dan di masa depan, dimana teknologi komunikasi melalui internet bisa dimanfaatkan secara kreatif, cerdik dan strategis untuk membawa agenda perubahan dan perbaikan sosial di Indonesia. Pertemuan ini, dalam kerangka studi ini, mempunyai dua tujuan utama. Pertama, sebagai sarana untuk melakukan validasi –catatan, komentar, koreksi, tambahan, pengurangan, dan lain-lain—atas temuan-temuan dan analisis-analisis yang sudah dikumpulkan sementara ini. Kedua, sebagai ruang untuk melakukan refleksi kolektif terhadap temuan dan validasi tersebut. Jika hal ini tercapai, mungkin inilah sumbangan paling bermakna dari penelitian ini bagi perkembangan sektor masyarakat sipil di Indonesia.
http://audentis.wordpress.com/2007/01/27/teknologi-informasi-dan-organisasi-masyarakat-sipil-di-indonesia/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar